MATERI DIKLAT JURNALISTIK MAHASISWA TINGKAT DASAR

Senin, 03 Oktober 2011

BAHASA INDONESIA RAGAM JURNALISTIK


BAHASA INDONESIA RAGAM JURNALISTIK
Usman
Dosen FBS UNM
Bahasa jurnalistik merupakan salah satu ragam bahasa selain ragam bahasa bahasa keilmuan, ragam bahasa hukum, ragam bahasa ekonomi, dan lain-lain. Masing-masing ragam memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dalam hal diksi (pilihan kata), maupun struktur kalimat, dan wacana. Dengan demikian, bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam menuliskan features. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama, akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan tajuk.
Dalam menulis berita, banyak faktor yang dapat memengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik, di antaranya penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Selain itu, keterbatasan yang dimiliki media –baik surat kabar maupun media lain-- (ruang, waktu). Namun demikian, sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis, dan wacana.

A. Sifat Ragam Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan dinamis.
1. Singkat
            Singkat dalam arti komunikasi ada dua macam, yaitu (1) waktu dengan acuan detik, menit, dan jam, dan (2) penggunaan bahasa dengan acuan struktur kalimat dan kosakata. Penggunaan bahasa secara singkat mengacu kepada jumlah kosakata yang digunakan dalam satu kalimat. Makin banyak kosakata dalam suatu kalimat yang digunakan mendeskripsikan satu ide, makin rumit kalimat dan sulit untuk dipahami. Artinya, bahasa jurnalistik menghindari penggunaan bahasa yang panjang dan bertele-tele.
2. Padat
Bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung di dalamnya. Bahasa jurnalistik menerapkan prinsip 5w + 1h, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
Bahasa yang padat mengacu kepada penggunaan kalimat secara efektif. Suatu ide dapat dikemukakan dengan kalimat singkat, tetapi pembaca dapat memahami ide itu sama atau hampir sama dengan pemahaman penulisnya. Pemahaman yang demikian dapat dicapai apabila penggunaan kosakata dan struktur kalimat tidak longgar. Artinya, jika suatu konsep dapat dipahami dengan hanya satu kata atau istilah, tidak perlu diberi keterangan tambahan yang justru akan membuat pembaca menjadi bosan. Demikian pula, jika dengan satu kalimat suatu konsep dapat dipahami, tidak perlu diberi kalimat penjelas.
3. Sederhana
Bahasa jurnalitik sebisanya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
Istilah atau kata yang masih terasa asing atau belum dikenal secara umum oleh pembaca hendaknya dipertimbangkan oleh wartawan. Istilah atau kata itu boleh digunakan dengan tujuan mempropagandakan penggunaannya, tetapi perlu ada catatan di dalam kurung tentang arti istilah atau kata itu.
4. Lancar         
            Menulis lancar berarti mengemukakan ide, pendapat, konsep atau yang lain secara runtut. Kalimat disusun secara kronologis/antikronologis dengan tidak melompat-lompat. Tulisan yang lancar akan memudahkan pembaca untuk memahami pikiran penulis yang tersurat dan yang tersirat. Sebaliknya, tulisan yang melompat-lompat, pembaca akan sulit memahaminya dengan baik karena pikiran, ide, atau konsep di dalam tulisan itu tidak utuh berkesinambungan; pemahaman pembaca terpotong-potong.
5. Jelas
Jelas artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seharusnya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih menjumpai judul berita:
v  Tim Mitsubishi Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar.
v  Jago Merah Melahap Asrama Mahasiswa di Kawasan Malengkeri.
v  Polisi Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa. 
            Ada beberapa faktor kebahasaan yang biasanya menyebabkan suatu tulisan kurang atau tidak jelas.
a. Paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Paragraf ini kalimat topiknya tersirat di dalam semua kalimat yang membangun paragraf. Seperti pada paragraf  karya sastra: cerpen, novel, atau roman. Karya sastra banyak paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Wartawan diharapkan menghindari paragraf seperti ini. 
b. Paragraf yang memiliki kalimat topik, tetapi kalimatnya itu tidak dikembangkan dengan kalimat-kalimat penjelas dan tidak didukung ide yang dikemukakan pada paragraf berikutnya.
6. Lugas
Bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga. Lugas berarti hal yang pokok-pokok saja (to the point). Jika pengertian ini ditempatkan ke dalam tulisan, maka suatu tulisan harus mengungkapkan hal-hal yang pokok saja.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati. Selain itu, berita yang menarik tergantung paling tidak dua hal, yaitu (1) materi berita, dan (2) gaya bahasa berita. Materi berita yang hangat umumnya menarik perhatian pembaca. Bahkan, berita yang kurang hangat dapat pula menjadi menarik apabila diungkapkan dengan gaya bahasa yang tepat dan lancar. Gaya bahasa yang dimaksud, bukan gaya bahasa dalam karya sastra yang cenderung mengungkapkan pengalaman imajinatif penulis, melainkan gaya bahasa popular yang dapat dipahami semua lapisan masyarakat pembaca. 
8. Dinamis
              Tidak ada satupun bahasa yang memiliki sifat dinamis seperti yang dimiliki bahasa jurnalistik. Ragam bahasa jurnalistik setiap saat berkembang tanpa dibatasi oleh prinsip-prinsip disiplin ilmu, teknologi, seni, dan sosial. Bahasa jurnalistik merupakan perpaduan semua perbendaharaan bahasa yang dimiliki oleh semua bahasa. Dengan demikian, pers merupakan profesi yang tidak pernah berpihak kepada salah satu isme, ideologi, agama, politik, sosial, dan sebagainya. Akan tetapi, pers menggunakan semua itu sebagai lahan untuk memperoleh pembedaharaan bahasa bagi kepentingan pemberitaan. Sehingga pers percaya bahwa bahasa itu adalah jembatan dunia.
B. Ciri-ciri Ragam Bahasa Jurnalistik
(1) tingkat kesulitan kata/istilah yang digunakan disesuaikan dengan tingkat 
     pengetahuan dan keterampilan berbahasa pembaca.
(2) Penggunaan kata-kata kompleks disesuaikan dengan pengetahuan bahasa pembaca.
(3)  Struktur kalimat tidak terlalu kompleks; tidak lebih dari tiga kalimat tunggal yang digabung menjadi satu.
(4) Penalaran kalimat yang bersifat kronologis.
(5) Kalimat taksa (ambigu) dihindari.
(6) Informasi yang diwadahi kalimat itu menarik perhatian pembaca.
C. Penyimpangan dan Kesalahan dalam Bahasa Jurnalistik 
              Berikut beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:
1. Penyimpangan morfologis. Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita surat kabar yang menggunakan kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks.
    Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan.
    Contoh:
    a. Kontroversi Baru Artika Sari Devi: Perankan Dewi Sinta yang Hiperseks
        (Tribun Timur, 3/12/05)                                   
    b. Pemkot Parepare Ajak Habibie Bangun Institut (Tribun Timur, 3/12/05)
2.  Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus.
     Contoh:
     Crespo cs Resmi Bergabung
     Seharusnya:
     Crespo cs Resmi Bergabung dengan PSM Makassar
     Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan   (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan.
     Contoh:
     Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI.
     Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan.
     Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustrasi, golongan anti pembangunan, dan lain-lain. Bahkan di era kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dan lain-lain.
5. Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
D. Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
            Berita adalah peristiwa yang dilaporkan. Wartawan sudah menemukan peristiwa setelah ia memahami prosesnya atau jalan cerita, yaitu tahu APA yang terjadi,  SIAPA yang terlibat, kejadiannya BAGAIMANA, KAPAN, dan DI MANA itu terjadi, dan MENGAPA sampai terjadi. Keenam itu yang disebut unsur berita.
Suatu peristiwa dapat dibuat berita bila paling tidak punya satu NILAI BERITA seperti berikut.
(a)    Kebermaknaan (significance). Kejadian yang berkemungkinan akan mempengaruhi kehidupan orang banyak atau kejadian yang punya akibat terhadap pembaca.
     Contoh: Kenaikan BBM, TDL, biaya pulsa telepon, penyakit antraks, dan lain-lain.
(b)   Besaran (magnitude). Kejadian yang menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak.
Contoh: Para penghutang kelas kakap yang menilep trilyunan rupiah BLBI.   
(c)    Kebaruan (timeliness). Kejadian yang menyangkut peristiwa yang baru terjadi.
Contoh: Pemboman Gereja tidak akan bernilai berita bila diberitakan satu minggu
                   setelah peristiwa.
(d)   Kedekatan (proximity). Kejadian yang ada di dekat pembaca. Bisa kedekatan geogragfis atau emosional.
Contoh: peristiwa tabrakan mobil yang menewaskan pasangan suami isteri, lebih
               bernilai berita daripada Sergei Lorenso jatuh dari arena GP 500.
(e)    Ketermukaan/sisi manusiawi. (prominence/human interest). Kejadian yang memberi sentuhan perasaan para pembaca. Kejadian orang biasa, tetapi dalam peristiwa yang luar biasa, atau orang luar biasa (public figure) dalam peristiwa biasa.
Misalnya: a. Ponari si dukun cilik.
                     b. Nadine Chandrawinata yang hobi menyelam.



[1] Makalah disampaikan pada Diklat Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Dasar LPPM Profesi UNM, Kamis-Minggu/21-24 Oktober 2010
[2] Dosen FBS UNM dan Pengurus LPPM Profesi UNM 1997-2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar