BAHASA INDONESIA RAGAM JURNALISTIK
Usman
Dosen FBS UNM
Bahasa jurnalistik merupakan
salah satu ragam bahasa selain ragam bahasa bahasa keilmuan, ragam bahasa
hukum, ragam bahasa ekonomi, dan lain-lain. Masing-masing ragam memiliki
karakteristik yang berbeda-beda, baik dalam hal diksi (pilihan kata), maupun
struktur kalimat, dan wacana. Dengan demikian, bahasa jurnalistik memiliki
kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik
itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan
apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan
reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang
digunakan dalam menuliskan features.
Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama, akan berbeda
dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan tajuk.
Dalam menulis
berita, banyak faktor yang dapat memengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik,
di antaranya penentuan masalah, angle tulisan,
pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Selain itu, keterbatasan yang
dimiliki media –baik surat kabar maupun media lain-- (ruang, waktu). Namun
demikian, sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang
dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata,
struktur sintaksis, dan wacana.
A. Sifat
Ragam Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik
memiliki sifat yang khas, yaitu singkat,
padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan dinamis.
1.
Singkat
Singkat
dalam arti komunikasi ada dua macam, yaitu (1) waktu dengan acuan detik, menit,
dan jam, dan (2) penggunaan bahasa dengan acuan struktur kalimat dan kosakata.
Penggunaan bahasa secara singkat mengacu kepada jumlah kosakata yang digunakan
dalam satu kalimat. Makin banyak kosakata dalam suatu kalimat yang digunakan
mendeskripsikan satu ide, makin rumit kalimat dan sulit untuk dipahami.
Artinya, bahasa jurnalistik menghindari penggunaan bahasa yang panjang dan
bertele-tele.
2. Padat
Bahasa jurnalistik
yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan
pembaca sudah tertampung di dalamnya. Bahasa jurnalistik menerapkan prinsip 5w
+ 1h, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
Bahasa yang padat
mengacu kepada penggunaan kalimat secara efektif. Suatu ide dapat dikemukakan
dengan kalimat singkat, tetapi pembaca dapat memahami ide itu sama atau hampir
sama dengan pemahaman penulisnya. Pemahaman yang demikian dapat dicapai apabila
penggunaan kosakata dan struktur kalimat tidak longgar. Artinya, jika suatu
konsep dapat dipahami dengan hanya satu kata atau istilah, tidak perlu diberi
keterangan tambahan yang justru akan membuat pembaca menjadi bosan. Demikian
pula, jika dengan satu kalimat suatu konsep dapat dipahami, tidak perlu diberi
kalimat penjelas.
3.
Sederhana
Bahasa jurnalitik sebisanya
memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang,
rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian
kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
Istilah atau kata
yang masih terasa asing atau belum dikenal secara umum oleh pembaca hendaknya
dipertimbangkan oleh wartawan. Istilah atau kata itu boleh digunakan dengan
tujuan mempropagandakan penggunaannya, tetapi perlu ada catatan di dalam kurung
tentang arti istilah atau kata itu.
4. Lancar
Menulis
lancar berarti mengemukakan ide, pendapat, konsep atau yang lain secara runtut.
Kalimat disusun secara kronologis/antikronologis dengan tidak melompat-lompat.
Tulisan yang lancar akan memudahkan pembaca untuk memahami pikiran penulis yang
tersurat dan yang tersirat. Sebaliknya, tulisan yang melompat-lompat, pembaca
akan sulit memahaminya dengan baik karena pikiran, ide, atau konsep di dalam
tulisan itu tidak utuh berkesinambungan; pemahaman pembaca terpotong-potong.
5. Jelas
Jelas artinya
informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak
umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian
makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seharusnya bahasa
jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih menjumpai judul berita:
v Tim Mitsubishi Berhasil Mengatasi Rally
Neraka Paris-Dakar.
v Jago Merah Melahap Asrama Mahasiswa di Kawasan Malengkeri.
v Polisi Mengamankan Oknum
Pemerkosa dari Penghakiman Massa.
Ada
beberapa faktor kebahasaan yang biasanya menyebabkan suatu tulisan kurang atau
tidak jelas.
a. Paragraf yang tidak memiliki
kalimat topik. Paragraf ini kalimat topiknya tersirat di dalam semua
kalimat yang membangun paragraf. Seperti pada paragraf karya sastra: cerpen, novel, atau roman.
Karya sastra banyak paragraf yang tidak memiliki kalimat topik. Wartawan
diharapkan menghindari paragraf seperti ini.
b. Paragraf yang memiliki
kalimat topik, tetapi kalimatnya itu tidak dikembangkan dengan
kalimat-kalimat penjelas dan tidak didukung ide yang dikemukakan pada paragraf
berikutnya.
6. Lugas
Bahasa jurnalistik
mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan
menghindari bahasa yang berbunga-bunga. Lugas berarti hal yang pokok-pokok saja
(to the point). Jika pengertian ini
ditempatkan ke dalam tulisan, maka suatu tulisan harus mengungkapkan hal-hal
yang pokok saja.
7.
Menarik
Bahasa jurnalistik
menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari
kata-kata yang sudah mati. Selain itu, berita yang menarik tergantung paling
tidak dua hal, yaitu (1) materi berita, dan (2) gaya bahasa berita. Materi
berita yang hangat umumnya menarik perhatian pembaca. Bahkan, berita yang
kurang hangat dapat pula menjadi menarik apabila diungkapkan dengan gaya bahasa
yang tepat dan lancar. Gaya bahasa yang dimaksud, bukan gaya bahasa dalam karya
sastra yang cenderung mengungkapkan pengalaman imajinatif penulis, melainkan
gaya bahasa popular yang dapat dipahami semua lapisan masyarakat pembaca.
8. Dinamis
Tidak ada satupun bahasa yang
memiliki sifat dinamis seperti yang dimiliki bahasa jurnalistik. Ragam bahasa
jurnalistik setiap saat berkembang tanpa dibatasi oleh prinsip-prinsip disiplin
ilmu, teknologi, seni, dan sosial. Bahasa jurnalistik merupakan perpaduan semua
perbendaharaan bahasa yang dimiliki oleh semua bahasa. Dengan demikian, pers
merupakan profesi yang tidak pernah berpihak kepada salah satu isme, ideologi,
agama, politik, sosial, dan sebagainya. Akan tetapi, pers menggunakan semua itu
sebagai lahan untuk memperoleh pembedaharaan bahasa bagi kepentingan
pemberitaan. Sehingga pers percaya bahwa bahasa
itu adalah jembatan dunia.
B. Ciri-ciri Ragam Bahasa Jurnalistik
(1) tingkat kesulitan kata/istilah yang
digunakan disesuaikan dengan tingkat
pengetahuan dan keterampilan berbahasa pembaca.
(2) Penggunaan kata-kata kompleks disesuaikan dengan pengetahuan
bahasa pembaca.
(3) Struktur kalimat tidak
terlalu kompleks; tidak lebih dari tiga kalimat tunggal yang digabung menjadi
satu.
(4) Penalaran kalimat yang bersifat
kronologis.
(5) Kalimat taksa (ambigu) dihindari.
(6) Informasi yang diwadahi kalimat itu
menarik perhatian pembaca.
C. Penyimpangan dan Kesalahan dalam Bahasa Jurnalistik
Berikut beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan
kaidah bahasa Indonesia baku:
1. Penyimpangan morfologis. Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita surat kabar yang
menggunakan kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan
penghilangan afiks.
Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan.
Contoh:
a. Kontroversi Baru Artika Sari Devi: Perankan Dewi Sinta yang Hiperseks
(Tribun Timur, 3/12/05)
b. Pemkot Parepare Ajak Habibie Bangun
Institut (Tribun Timur, 3/12/05)
2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau
struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal
ini disebabkan logika yang kurang bagus.
Contoh:
Crespo cs Resmi Bergabung
Seharusnya:
Crespo cs Resmi Bergabung dengan PSM Makassar
Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk
pemberitaan.
Contoh:
Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu
Merupakan Pil Pahit bagi ABRI .
Seharusnya kata Pil Pahit
diganti kejahatan.
Bahkan di era rezim
Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose
merupakan kosakata yang menekan seperti GPK ,
subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustrasi,
golongan anti pembangunan, dan lain-lain. Bahkan di era kebebasan pers
seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin
banyak.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir
setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April
2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga
terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual,
sinkron
ditulis singkron, dan lain-lain.
5. Kesalahan
pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap
kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa
Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah
bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
D. Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
Berita adalah
peristiwa yang dilaporkan. Wartawan sudah menemukan peristiwa setelah ia
memahami prosesnya atau jalan cerita, yaitu tahu APA
yang terjadi, SIAPA yang terlibat,
kejadiannya BAGAIMANA, KAPAN, dan DI MANA
itu terjadi, dan MENGAPA sampai terjadi. Keenam itu yang disebut unsur berita.
Suatu peristiwa dapat dibuat berita bila paling tidak punya satu NILAI
BERITA seperti berikut.
(a)
Kebermaknaan (significance).
Kejadian yang berkemungkinan akan mempengaruhi kehidupan orang banyak atau
kejadian yang punya akibat terhadap pembaca.
Contoh: Kenaikan BBM, TDL, biaya pulsa telepon, penyakit antraks, dan
lain-lain.
(b)
Besaran (magnitude).
Kejadian yang menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak.
Contoh: Para penghutang kelas kakap yang menilep
trilyunan rupiah BLBI.
(c)
Kebaruan (timeliness).
Kejadian yang menyangkut peristiwa yang baru terjadi.
Contoh: Pemboman Gereja tidak akan bernilai berita bila diberitakan
satu minggu
setelah
peristiwa.
(d)
Kedekatan (proximity).
Kejadian yang ada di dekat pembaca. Bisa kedekatan geogragfis atau emosional.
Contoh: peristiwa tabrakan mobil yang menewaskan
pasangan suami isteri, lebih
bernilai berita daripada Sergei Lorenso jatuh dari arena GP 500.
(e)
Ketermukaan/sisi manusiawi. (prominence/human interest). Kejadian
yang memberi sentuhan perasaan para pembaca. Kejadian orang biasa, tetapi dalam
peristiwa yang luar biasa, atau orang luar biasa (public figure) dalam peristiwa biasa.
Misalnya: a. Ponari si dukun cilik.
b. Nadine Chandrawinata
yang hobi menyelam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar